Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jiwa. Ruh berasal
dari alam arwah dan memerintah serta menggunakan jasad sebagai alatnya.
Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi
para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabisat Ilahi dan
cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada Allah dan tetap
berada dalam keadaan suci.
Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelah ditiup Allah
dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh di dalam diri manusia berfungsi
sebagai sumber moral yang baik dan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang
mulia dan terpuji, maka lain halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak
tercela, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Alghazaali membagi jiwa menjadi tiga, yaitu :
Jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani (binatang), dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang oranis dari
segi makan, tumbuh, dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping memiliki daya
makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal
yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyai kelebihan dari segi
daya fikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah)
Daya jiwa yang berfikir (Al-Nafs-Al-Nathiqah atau Al-Nafs-Al-Insaniyah)
inilah menurut para filsuf dan sufi yang merupakan hakikat atau pribadi
manusia. Sehingga dengan hakikat tersebut, ia dapat mengetahui hal-hal yang
umum dan yang khusus, Dzatnya, dan Penciptanya.
Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir),
tetapi juga jiwa hewani dan nabati, maka jiwa (nafs) manusia menjadi pusat
tempat tertumpuknya sifat-sifat yang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa
manusia mempunyai sifat yang beranekaragam sesuai dengan keadaannya.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan
ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka
ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat.
Firman Allah :
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 53).
Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka
ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan
keburukan dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah.
Hal ini ditegaskan oleh-Nya,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ الَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang
selalu mencela (dirinya sendiri)1.” (QS. Al
Qiyamah:2)
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela,
maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (Al-Nafs-Al-Muthmainnah).
Dalam hal ini Allah menegaskan,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ
رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي
جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada tuhanmu dengan rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al
Fajr: 27-30)
Jadi jiwa mempunyai tiga macam sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi
tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada
sifat-sifat tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan,
dan ketentraman, yaitu jiwa Muthmainnah. Dan jiwa Muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga.
Jiwa Muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan dengan ruh. Ruh
bersifat ketuhanan sebagai sumber moral mulia dan terpuji, dan ia hanya
mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang
ambivalen.
Allah sampaikan,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
“Demi jiwa serta kesempurnaannya,
Allah mengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaa.” (QS. Asy
Syams: 7-8).
Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa
terletak pada perjuangan baik dan buruk.
Ruh berasal dari alam arwah, yang diturunkan kedalam jasad manusia, yang
memiliki kemampuan untuk mengetahui, berkehendak, dan berkuasa atas tubuh yang
didiaminya. Ketika ruh ditiupkan ke dalam badan, badan pun menjadi hidup. Dan
ketika meninggalkan badan, maka badan pun menjadi mati, sedikit pun ia tidak
terpengaruh oleh kematian kecuali sekedar kehilangan wadah kasarnya.
Sewaktu anak Adam tidur, ruh meninggalkan badan untuk sementara. Tapi
ketika ruh dicabut karena beberapa penyebab fisik seperti tidak berfungsinya
organ tubuh yang vital, atau penyebab lain dari luar, maka matilah ia. Saat itu
ruh meninggalkan badan dan pergi ke dunia spiritual yaitu alam arwah,
sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran,
الله
يتوفى الأنفس حين موتها والتي لم تمت في منامها فيمسك التي قضى عليها
الموت ويرسل الأخرى إلى أجل مسمى إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
“Allah yang mengambil ruh manusia
pada saat kematian mereka, dan yang belum mati dalam tidurnya. Allah menahan
ruh orang yang telah ditetapkan ajal kematiannya, dan melepaskan yang lain (ke
badannya) sampai waktu yang ditentukan2. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (QS. Az
Zumar: 42)
Ayat ini menerangkan bahwa ruh itu hidup, dapat berpindah-pindah, dan
menembus ke segenap bagian tubuh manusia. Lebih lanjut diterangkan, bahwa ruh
diperintah oleh Allah meninggalkan badan untuk sementara, yaitu selama orang
itu tidur. Kemudian diperintahkan-Nya memasuki badan kembali begitu terjaga
dari tidurnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya ruhmu dikeluarkan dan
kemudian dikembalikan kepadamu, sampai suatu waktu yang diinginkan oleh Allah.”
Dengan sebab bahwa hidup manusia adalah karena kehadiran ruh pada
jasadnya, maka ketika datang saat yang sudah ditetapkan ruh itu keluar, tubuh
pun menjadi mati. Setelah kematian, tubuh manusia segera rusak, tapi ruh tetap
hidup, kekal, dan abadi. Dalam hal ini Ibn Qayyim mengatakan, bahwa setelah ruh
dicabut saat menemui ajalnya ia kembali ke badan dalam kubur untuk ditanyai
oleh malaikat Munkar dan Nakir. Seterusnya ruh menetap dalam barzakh untuk
mengecap kebahagiaan atau merasakan hukuman siksa sampai hari kebangkitan.
Dengan begitu ruhlah yang akan mengantar manusia untuk melihat keindahan
dan kelapangan alam surgawi. Demikianlah pula sebaliknya, ruhlah yang akan
mengantar manusia untuk menerima azab neraka. Selanjutnya ruh yang suci akan kembali kepada Allah di surga, sedangkan
yang kotor akan menjalani menjalani proses penyucian di neraka. Untuk itu
segala kegiatan manusia di dunia hendaknya dijadikan ibadah, karena hanya
melalui peribadatan itu ruh dapat menyucikan dirinya setelah melakukan
dosa-dosa selama hidup menyatu dengan jasadnya.
Memang, di dalam Al Quran dinyatakan bahwa ruh itu merupakan urusan
Allah, dan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali hanya sedikit.
Ia hanyalah sebagian kecil dari rahasia Allah yang telah ditetapkan Allah ke
dalam manusia dari alam surgawi (QS. Sad: 72)
Namun meski sedikit, hal itu tidak menghalangi manusia untuk terus
melakukan pemikiran dan perenungan tentang eksistensi ruh, dan itu pun tidak
luput dari timbulnya macam-macam perbedaan pendapat diantara para ulama dimana
mereka telah mengadakan kajian tentang hakikat ruh. Sebab disamping adanya
pengertian ruh dari sudut fisik sebagai daya hidup jasmani, tetapi secara
subtansial istilah ruh juga mengandung pengertian sebagai wujud spiritaual.
Itulah sebabnya, di dalam tasawwuf pun tidak sedikit tokoh-tokoh sufi yang
begitu serius membicarakan masalah ruh, termasuk di kalangan sufi indonesia
seperti Syaikh Abdus Samad Al Palimbani.
Menurut Abdus Samad Al Palimbani, ruh manusia adalah makhluk suci yang
merupakan percikan Nur Allah yang Azali. Ia telah memiliki wujud sebelum
tubuhnya diciptakan, dan telah mengenal Tuhan secara langsung sebelum ia
diahirkan ke dunia. Ketika itu manusia masih dalam bentuk nur yang berkeliaran
di seputar alam kesucian yang luhur, sebelm kemudian ditentukan ke dalam
kegelapan rahim dan menyatu dengan jasad janin.
Al Quran menjelaskan bahwa sebelum ruh diturunkan ke alam jasad, Allah
berfirman, “bukankah Aku ini Tuhan
kalian?” Ruh-ruh itu pun menjawab, “Benar, Engkau adalah Tuhan kami.” (Al
A’raf: 172)
Ayat ini jelas mengartikan, bahwa sebelum ruh diturunkan ke dalam jasad,
mereka telah mengenal tentang sesuatu, yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun
demikian, ketika ruh ditiupkan ke dalam jasad manusia, ruh-ruh itu lupa akan
pertemuan dengan-Nya yang pernah mereka alami. Ini terjadi karena ruh semakin
terpengaruh oleh nafsu yang ada pada jasad materialnya. Maka, hanya dengan
intensitas kegiatan ibadat, kiranya ruh akan mengingat kembali pengetahuan dan
pengalaman yang pernah dialaminya di sisi Tuhannya, yakni di zaman azali.
Tentang asal-usul keberadaan ruh sebelum ia dipertautkan dengan jasad
kasarnya ini, para tokoh sufi pada umumnya menginterpretasikan ayat Al-Quran
(QS. At-Tin : 4-5)
Mereka dengan merujuk pada dua ayat ini berpendapat bahwa semua sebelum
di alam rahim sang ibu, ia menjalani fase nurani di zaman azali. Pada masa itu,
menurut mereka manusia berada dalam wujud yang seindah-indahnya dan
sebaik-baiknya dalam wujud tuh, yang satu sama lain sudah saling mengenal. Ia
hidup di alam keghaiban yang hanya bisa dilihat oleh para wali abdal,
kekasih-kekasih Allah.
Dari sanalah kemudian ia diturunkan ke tempat yang serendah-rendahnya,
yaitu dimasukkan ke dalam tanah liat dan air mani. Jadi, manusia telah
mengalami alam azali nurani sebelum dirinya dijadikan dalam bentuk darah dan
daging di dalam rahim. Setelah itu, ia diturunkan ke dunia, dan hijab ghaib pun
segera melekat padanya, yaitu berupa keinginan-keinginan dan kecenderungan
nafsu keduniaan.
Akibatnya, sibuklah ia dengan kebutuhan-kebutuhan materinya, hingga ia
lupa akan sejarahnya, disebabkan terpenjara oleh dunia dan nafsu-nafsu rendah,
hingga derajatya pun merosot serendah-rendahnya, yakni menjadi jasad kasar di
alam dunia yang rendah.
Sesudah jatuh dari keadaan sebaik-baiknya kemudian menjadi keadaan paling
rendah, manusia tidak bisa menikmati kembali keadaan di zaman azali yang
dilingkungi oleh keindahan surga. Apalagi jika manusia lupa akan kududukannya
lalu menyeret diri dan menyerahkan kepada naluri hewaninya, maka ia akan
merosot ke lembah kehinaan.
Begitulah manusia yang awalnya merupakan ciptaan Allah yang paling mulia,
ternyata lebih banyak merendahkan derajatnya sendiri di bawah makhluk-makhluk
lain yang kebih rendah, seperti binatang, pohon-pohon, bebatuan, dan
lain-lainnya. Perendahan derajat manusia ini timbul lebih banyak diakibatkan
oleh pengumbaran nafsunya yang tak terkendali, terutama nafsu kecintaan pada
harta, kedudukan, dan kehormatan.
Akibatnya, manusia yang kodrat sebenarnya adalah supaya mengendalikan
materi kebendaan dan mengatasi hawa nafsunya, tetapi pada kenyataannya malah
terbalik, yakni manusia yang kini justru diperbudak oleh benda-benda dan
bujukan nafsunya sendiri. Dan orang-orang yang tertipu itu bukanlah kaum awam
saja, tapi dapat ditemukan hampir di setiap lapisan masyarakat. Mereka dapat
dijumpai di kalangan cerdik pantai, bahkan di kalangan pemuka agama dan
tokoh-tokoh masyarakat, apalagi di kalangan kaum awam dan rakyat jelata.
Kerinduan ruh akan kehidupan asal di zaman azali, menrut konsep sufisme,
segera bisa terobati begitu ruh meninggalkan kehidupan dunia ini menuju alam
barzakh. Di alam akhirat nanti ruh-ruh yang bersih akan saling bertemu untuk
menumpahkan kerinduannya, karena mereka saling kenal dahulu sebelum ditiupkan
ke badan manusia. Ada pun ruh-ruh yang kotor danburuk ia tidak akan merasa
rindu kepada siapa pun, dan ia di hari akhirat itu keadaannya sangat payah
penuh penderitaan dan kesengsaraan, dan akan bertambah payah lagi ketika
bergabung dengan ruh kotor lainnya.
Dan kerinduan itu akan terobati kala di surga kelak: “Dan sampaikanlah
berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka
disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka
diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: ”Inilah yang
pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan
untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci, dan mereka akan kekal di
dalamnya.”
Uraian di atas, apabila dijelakan dalam kata-kata yang ringkas mungkin
akan seperti ini: “Dalam raga ada jiwa, dalam jiwa ada ruh”.
Raga adalah jasmani sedangkan jiwa berada diantara jasmani dan ruhani
sehingga jiwa itu hidup dan selama hidup di dalamnya ada syahwat/nafs,
sedangkan ruh bersifat kekal/utuh (sampai Allah yang menentukannya, karena hal
itu adalah urusan Allah), jasmani tanpa jiwa maka akan mati, tapi ruh tanpa
jiwa dia tetap ruh. Maka jiwa dapat terkontaminasi antara ruhani dan jasmani
manusia.
Agama yang benar akan menuntun jiwa agar selalu condong pada ruhani.
Salam. Alhamdulillah. terima kasih atas perkongisan ilmunya.
BalasHapusSyukron atas ilmunya
BalasHapusSaya hanya ingin bertanya
BalasHapus"Knp redaksi ayat pd saat penciptaan adam/saat 120 hari ibu mengandung,redaksi ayatnya DITIUPKAN RUH...
sedangkan pd saat manusia ketika ajal/matinya,yg dipanggil redaksi ayatnya HAI JIWA2...(NAFSUN)knp bukan RUH YG DITIUP yg dipanggil"?
Mudah2an dngan pertanyaan di atas bisa membuka pemahaman tentang RUH dan JIWA.
luar biasa....
BalasHapus